makalah value chain
MAKALAH AKUNTANSI MANAJEMEN
Tentang:
“VALUE CHAIN & ANALYSIS ACOUNTING”
Oleh Kelompok 4:
Devina
Almira 1630402025
Retno
Larasati 1630402096
Rezri
Yalni 1630402097
Sucita
Ramadayani 1630402110
Wahyu
Nurhidayat 1630402117
Wiga
Afriani 1630402119
Dosen Pembimbing:
SRI
ADELLA FITRI S.E, M.Si
MEGA RAHMI,S.E,Sy,M.Si
JURUSAN AKUNTANSI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini
berbagai perkembangan dan kemajuan pesat di bidang industri dan teknologi
informasi menyebabkan perubahan besar di berbagai aspek dan bidang kehidupan
manusia. Kondisi ini mau tidak mau dan suku atau tidak suka mengharuskan
perusahaan untuk mengikuti dan berkembang sejalan dengan perkembangan dan
kemajuan tersebut yang berarti operasional organisasi menjadi semakin kompleks
dan persaingan akan semakin ketat. Hal ini mendorong pula terjadinya
pergeseran-pergeseran peradigma di dalam organisasi bisnis.
Persaingan
dapat dipandang sebagai pengelolaan sumber daya sedemikian rupa sehingga
melampaui kinerja kompetitor. Untuk melaksanakannya, perusahaan perlu memiliki
keunggulan kompetitif yang merupakan jantung kinerja perusahaan dalam sebuah
pasar yang kompetitif. Selanjutnya porter menyatakan bahwa untuk
mengidentifikasi sumber-sumber dan potensi keunggulan kompetitif bagi suatu
perusahaan, diperlukan suatu alat analisis yang disebut konsep value chain.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Value
Chain
2.
Definisi
Value Chain
3.
Metode
Analisis Value Chain
4.
Kerangka
Rantai Nilai
5.
Tahapan
Dalam Analisis Rantai Nilai
6.
Kategori
Rantai Nilai
7.
Hubungan
Yang Penting Dalam Rantai Nilai
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Value
Chain
Konsep value
chain merupakan konsep yang dikembangkan oleh Porter pada tahun 1985 yang
memandang perusahaan sebagai suatu rangkaian atau jaringan aktivitas dasar yang
menambah nilai bagi produk atau jasanya dan menambah margin nilai baik bagi
perusahaan maupun bagi pelanggannya. Analisis value chain menggambarkan
aktivitas di dalam dan disekitar organisasi dan menghubungkannya pada kekuatan
persaingan perusahaan. Porter mengelompokkan aktivitas perusahaan menjadi dua
kelompok, yaitu primary activities dan supporting activities. Primary
activities terdiri dari inbound logistics, operations, outbound logistics,
marketing and sales, and service. Setiap aktivitas ini saling terhubung dengan
supporting activities agar dapat meningkatkan efektivitas atau efisiensinya.
Terdapat empat area utama dalam supporting activities, yaitu: procurement,
technology development, human resource management, and infrastructure. Porter
(1980) berpendapat bahwa suatu perusahaan dapat mencapai keunggulan
kompetitifnya dengan mengembangkan salah satu dari dua strategi umum yaitu low
cost strategy dan differentiation strategy.
1.
Low-cost
strategy
Fokus utama
dari low-cost strategy adalah mencapai kos yang lebih rendah secara
relatifnya dibandingkan dengan kompetitor (cost leadership). Cost
leadership dapat dicapai dengan beberapa pendekatan, antara lain economic
of scale in production, experience curve effects, high cost control, dan cost
minimization dalam area research and development, sales, atau advertizing.
2.
Differentiation
strategy
Fokus utama differentiation
strategy adalah menciptakan suatu produk yang unik bagi konsumen atau
memiliki atribut yang berbeda secara signifikan dengan produk pesaing dan
atribut tersebut penting dan bernilai bagi konsumen. Keunikan produk dapat
dicapai dengan berbagai cara, antara lain brand royalty, superior customer
service, dealer network product design, atau technology.
Perusahaan akan
dapat mengembangkan cost leadership atau differentiation
tergantung pada bagaimana perusahaan mengelola value chain yang
dimiliki. Competitive advantage akan dicapai bila perusahaan dapat
memberikan customer value yang lebih tinggi daripada kompetitor untuk
kos yang sama atau customer value sama untuk kos yang lebih rendah
daripada kompetitor.
Analisis value
chain merupakan alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami
secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif, untuk mengidentifikasi dimana
value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami
secara lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok/supplier, pelanggan, dan
perusahaan lain dalam industri. Value Chain mengidentifikasikan dan
menghubungan berbagai aktivitas stratejik di perusahaan. Sifat value chain
tergantung pada sifat industri dan berbeda-beda untuk perusahaan manufaktur,
perusahaan jasa dan organisasi yang tidak berorientasi pada laba. Tujuan dari
analisis value chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value
chain dimana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan
atau untuk menurunkan biaya,. Penurunan biaya atau peningkatan value
dapat membuat perusahaan lebih kompetitif. Peningkatan value atau penurunan
biaya dapat dicapai dengan cara mencari prestasi yang lebih baik yang berkaitan
dengan supplier, dengan mempermudah distribusi produk, outsourcing
(yaitu mencari komponen atau jasa yang disediakan oleh perusahaan lain), dan
dengan cara mengidentifikasi bidang-bidang dimana perusahaan tidak kompetitif.
Analisis value
chain berfokus pada total value chain dari suatu produk, mulai dari
desain produk, sampai dengan pemanufakturan produk bahkan jasa setelah
penjualan. Konsep-konsep yang mendasari analisis tersebut adalah bahwa setiap
perusahaan menempati bagian tertentu atau beberapa bagian dari keseluruhan value
chain. Penentuan dibagian mana perusahaan berada dari seluruh value
chain merupakan analisis stratejik, berdasarkan pertimbangan terhadap
keunggulan kompetitif yang ada pada setiap perusahaan, yaitu dimana perusahaan
dapat memberikan nilai terbaik untuk pelanggan utama dengan biaya serendah
mungkin. Contohnya, beberapa perusahaan dalam industri pembuatan komputer
memfokuskan pada pembuatan chip (Texas Instrument), sementara perusahaan
lainnya terutama memfokuskan pada pembuatan
prosesor (Intel) atau hard drive (Seagate and Western Digital), atau monitor
(Sony). Beberapa perusahaan mengkombinasikan pembelian dan pemanufakturan
komponen untuk membuat komputer yang lengkap (IBM, Compaq), sementara
perusahaan lainnya terutama memfokuskan pada pembelian komponen (Dell,
Gateway). Dalam industri sepatu olahraga, Reebok memproduksi dan menjual sepatu
kepada pengecer yang besar, sementara Nike mengkonsentrasikan pada desain,
penjualan dan promosi, mengkontrakkan semua pembuatan sepatunya pada perusahaan
lain. Oleh karena itu setiap perusahaan mengembangkan sendiri satu atau lebih
dari bagian-bagian dalam value chain, berdasarkan analisis stratejik terhadap
keunggulan kompetitifnya. (Blocher, 2000, hal. 53-54)
Kemampuan
perusahaan untuk menerapkan strategi tersebut pada dasarnya sangat tergantung
pada kemampuan perusahaan mengelola rantai nilai yang dimiliki dibandingkan
dengan pesaing. Dengan memperhatikan value chain yang dimiliki, perusahaan
dapat menentukan kegiatan atau bidang yang biayanya dapat diminimumkan dan kegiatan
dimana customer value dapat ditingkatan. Value chain adalah rantai nilai
kegiatan yang menciptakan atau menghasilkan nilai menciptakan atau menghasilkan
nilai mulai dari penerimaan bahan baku dari supplier, penelitian dan
pengembangan proses/produ, penjualan ke konsumen sampai kegiatan yang
diperlukan setelah barang terjual. Customer value menunjukkan karakteristik
produk atau jasa yang dipandang konsumen sebagai sesuatu yang bernilai.
Ketiga hal
diatas akan dapat dilakukan oleh perusahaan dalam memperoleh dan mempertahankan
keunggulan kompetitif apabila didukung oleh informasi yang relevan baik untuk
penentuan cost produk yang akurat; analisis struktur cost pesaing dan
pengukuran performan perusahaan. Sayangnya, sistem akuntansi manajemen
tradisional tidak mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. (Charil, 2011, hal. 72-73)
Menurut Porter
dan Kramer strategi value chain perusahaan dapat memfokuskan pada CSR
adalah sebagai berikut:
1.
Aktivitas-aktivitas
utama
a.
Inbound
logistics, yaitu
merencanakan pemindahan bahan baku secara efektif dan efisien sehingga dapat
mengurangi emisi dalam transportasi.
b.
Oprerations, yaitu pengelolaan limbah yang layak, pemakaian listrik dan air
secara efisien, peralatan dan kondisi kerja yang aman, dan lain-lain
c.
Outbond
logistics, yaitu kemasan
produk menggunakan kemasan yang ramah lingkungan dan penggunaan transportasi
pengantaran produk seefisien mungkin
d.
Marketing
& sales, yaitu isi
iklan yang mendukung CSR dan harga jual wajar bagi konsumen
e.
After-sales
service, yaitu
mengelola barang-barang usang secara ramah lingkungan
2.
Aktivitas-aktivitas
pendukung
a.
Firm
infrastructure, yaitu
pengelolaan perusahaan dan pelaporan keuangan yang berbasis CSR
b.
Human
resources, yaitu kondisi
kerja yang aman, sehat, dan memenuhi syarat
c.
Technology
development, yaitu
pengembangan teknologi yang ramah lingkungan
d.
Procurement, yaitu pemanfaatan sumber-sumber daya yang alami. (Martusa,
2009, hal. 169-170)
Analisis Value
Chain memandang perusahaan sebagai salah satu bagian dari rantai nilai
produk. Rantai nilai produk merupakan aktivitas yang berawal dari bahan mentah
sampai dengan penanganan purna jual. Rantai nilai ini mencakup aktivitas yang
terjadi karena hubungan dengan pemasok (Supplier Linkages), dan hubungan
dengan konsumen (Customer Linkages). Aktivitas ini merupakan kegiatan
yang terpisah tapi sangat tergantung satu dengan yang lain. Analisis value
chain membantu manajer untuk memahami posisi perusahaan pada rantai nilai
produk untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Pendekatan Analisis Value
Chain dan Value Coalitions merupakan pendekatan terbaik dalam
membangun nilai perusahaan kearah yang lebih baik. Analisis Value Chain dan
Value Coalitions lebih sering berhubungan dengan aktivitas luar
perusahaan.
Analisa Value
Chain dilakukan untuk memetakan seluruh proses kerja yang terjadi dalam
organisasi menjadi dua kategori aktivitas, yaitu aktivitas utama dan aktivitas
pendukung. Mengacu pada dokumen organisasi yang menyebutkan tugas dan fungsi
setiap unit kerja berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap proses kerja
yang terjadi di masing-masing unit kerja. (Wedhasmara, 2009, hal. 20)
B.
Definisi
Value Chain
Untuk
mengetahui dengan jelas definisi Value Chain, maka berikut ini akan
dikemukakan definisi Value Chain yang diambil dari beberapa ahli. Pertama
menurut Blocher, Chen, dan Lin (2007:53), analisis value chain
merupakan analisis strategi yang digunakan untuk memahami secara lebih baik
keunggulan kompetitif untuk mengidentifikasi dimana value chain
pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan biaya, dan untuk memahami secara
lebih baik hubungan perusahaan dengan pemasok atau supplier, pelanggan, dan
perusahaan lain dalam industry. Menurut Blocher, Chen, dan Lin, ada dua jenis
hubungan yang harus dianalisis dan dipahami, yaitu:
1.
Internal
Value Chain
Internal value
chain merupakan
suatu rangkaian kegiatan yang terjadi atau dilakukan dalam bagian satu rantai
perusahaan. Menurut Hansen daan Mowen (2006:13), Internal Value Chain
adalah rangkaian aktivitas yang diperlukan untuk mendesain, mengembangkan,
memproduksi, memasarkan dan mengirimkan produk serta jasa kepada pelanggan. Ada
yang perlu ditekankan dalam rantau nilai internal perusahaan adalah sistem
akuntansi manajemen harus memahami berbagai informasi tentang jenis aktivitas
yang tersebar dalam rantai nilai perusahaan.
2.
Eksternal
Value Chain
Eksternal Value
Chain adalah
hubungan rantai nilai dalam perusahaan yang dilakukan oleh pelanggan dan
pemasoknya. Dengan hubungan eksternal diharapkan dapat mencapai hasil yang
saling menguntungkan bagi pihak perusahaan, pemasok, dan pelanggan. Hubungan
eksternal value chain bermanfaat bagi perusahaan dimana perusahaan harus
memahami seluruh rangkaian aktivitas dan bukan hanya bagian dari rantai nilai
perusahaan. (Kandou, 2014, hal. 4-5)
Analisis rantai
nilai adalah alat analisis strategis yang digunakan untuk lebih memahami
keunggulan kompetitif perusahaan, mengidentifikasi dimana nilai bagi pelanggan
dapat ditingkatkan atau biaya dapat diturunkan, dan lebih memahami hubungan
perusahaan dengan pemasok, pelanggan, dan perusahaan lainnya dalam industri
yang sama. Aktivitas-aktivitasnya mencakup seluruh langkah yang dibutuhkan
untuk menyediakan produk atau jasa yang kompetitif bagi pelanggan. Untuk
perusahaan manufaktur, hal ini dimulai dari pengembangan produk dan pengujian
produk baru, kemudian pada pembelian bahan baku dan proses produksi, dan
akhirnya penjualan dan pelayanan. Untuk perusahaan jasa, aktivitas-aktivitasnya
dimulai dari konsep jasa dan desainnya, tujuan, permintaan, dan kemudian pada
serangkaian aktivita yang menyediakan jasa untuk menciptakan pelanggan yang
puas. Meski rantai nilai sering kali sulit untuk digambarkan pada perusahaan
jasa atau organisasi nirlaba, pendekatan ini diaplikasikan pada seluruh jenis
organisasi. Suatu organisasi dapat membagi operasinya ke dalam berlusin-lusin
atau beratus-ratus aktivitas.
Istilah rantai
nilai (chain value) digunakan karena setiap aktivitas dimaksudkan
untuk menambah niali pada produk atau jasa bagi pelanggan. Pihak manajemen
dapat memahami dengan lebih baik keunggulan kompetitif dan strategi perusahaan
dengan memisahkan operasinya berdasarkan aktivitas. Apabila perusahaan sukses
dalam strategi kepemimpinan biaya, contohnya, pihak manajemen harus menentukan
apakah masing-masing aktivitas dalam rantai nilai konsisten dengan keseluruhan
strategi. Pertimbangan yang cermat pada setiap aktivitas juga harus
mengidentifikasi aktivitas-aktivitas dimana perusahaan paling kompetitif dan
paling tidak kompetif.
Rantai nilai
dapat dioperasikan melalui tiga fase, secara berurutan: (1) hulu, (2) operasi,
dan (3) hilir. Fase hulu mencakup pengembangan produk dan hubungan
perusahaan dengan pemasok; operasi mengacu pada operasi manufaktur atau,
untuk peritel perusahaan jasa, operasi terlibat dalam penyediaan produk atau
jasa; tahap hilir mengacu pada hubungan dengan pelanggan, mencakup
pengiriman, pelayanan, dan aktivitas terkait lainnya. Beberapa istilah yang
mengacu pada analisis fase hulu disebut juga manajemen rantai pasokan
dan yang mengacu pada analisis fase hilir disebut manajemen hubungan
pelanggan.
Penentuan
bagian atau bagian-bagian mana dari rantai nilai untuk ditempati adalah
analisis strategis berdasarkan pertimbangan keunggulan kompetitif dari
masing-masing perusahaan, yaitu dimana perusahaan dapat menyediakan nilai
terbaik pada konsumen akhir pada biaya serendah mungkin. Contohnya, beberapa
perusahaan dalam industri yang memproduksi komputer yang berfokus pada produksi
chips (Texas Instruments), sementara perusahaan lainnya berfokus pada
prosesor (Intel), peranti keras (Seagate), atau layar monitor (Sony). Beberapa
produsen (Hewlett-Packard, Aplle) mengkombinasikan pembelian dan produksi
komponen untuk memproduksi sepatu dan menjualnya pada peritel besar; Nike
berkonsentrasi pada desain, penjualan, promosi, dan menyerahkan seluruh
aktivitas produksinya pada pihak lain. Dengan demikian, setiap perusahaan
menempatkan dirinya pada satu atau lebih bagian dari rantai nilai berdasarkan
analisis strategi dari keunggulan kompetitifnya.
Analisis rantai
nilai mempunyai dua langkah:
1.
Mengidentifikasi
Aktivitas Rantai Nilai.
Perusahaan
mengidentifikasi aktivitas nilai (value activities) tertentu yang
harus dilakukan perusahaan dalam industrinya, yakni dalam proses perancangan,
produksi, dan penyediaan layanan pelanggan. Pengembangan suatu rantai nilai
bergantung pada jenis industri. Contohnya, fokus pada industri jasa adalah pada
operasi, periklanan, dan promosi, bukan pada bahan baku dan produksi.
2.
Mengembangkan
Keunggulan Kompetitif dengan Menurunkan Biaya atau Menambah Nilai.
Pada langkah
ini, perusahaan menentukan sifat dari keunggulan kompetitifnya saat ini dan
yang potensial dengan mempelajari aktivitas nilai dan penggerak biaya (cost
driver) yang telah diidentifikasi sebelumnya. Dalam melakukan hal ini,
perusahaan harus mempertimbangkan hal-hal berikut:
a.
Identifikasi
keunggulan kompetitif (kepeminpinan biaya atau diferensiasi)
Analisis
aktivitas nilai dapat membantu pihak manajemen agar lebih memahami keunggulan
kompetitif strategis perusahaan dan menempatkan posisinya yang tepat dalam
keseluruhan rantai nilai industri. Contohnya IBM, Boeing, General Electric, dan
perusahaan-perusahaan lainnya telah meningkatkan penekanan pada pelayanan bagi
pelanggan mereka, mengingat pelayanan-pelayanan tersebut lebih menguntungkan
daripada penjualan produk dasar mereka.
b.
Identifikasi
kesempatan untuk menambah nilai.
Analisis
aktivitas nilai dapat membantu mengidentifikasi aktivitas dimana perusahaan
dapat menambah nilai yang signifikan bagi pelanggan. Contohnya, pabrik
pemrosesan makanan dan pabrik pengemasan sekarang ini biasanya berlokasi di
dekat pelanggan terbesar mereka untuk menyediakan pengiriman yang lebih cepat
dan murah. Demikian pula, pertel besar seperti Wal-Mart menggunakan teknologi
berbasis komputer untuk berkoordinasi dengan pemasok agar dapat secara efisien
dan cepat mengisi kembali persediaan mereka di setiap toko. Dalam industri
perbankan, ATM diperkenalkan untuk menyediakan pelayanan pelanggan dan
mengurangi biaya pemrosesan. Bank mulai mengembangkan teknologi komputer online
untuk lebih meningkatkan pelayanan pelanggan dan menyediakan peluang untuk
mengurangi biaya pemrosesan lebih lanjut.
c.
Identifikasi
peluang untuk mengurangi biaya.
Pengkajian atas
aktivitas nilai dapat membantu perusahaan menentukan bagian dari rantai nilai
dimana perusahaan tidak kompetitif. Contohnya, perusahaan dalam bisnis
elektronik, seperti Flextronics International Ltd. dan Sanmina-SCI, telah
menjadi pemasok suku cadang yang besar dan pembuat komponen-komponen perakitan
suku cadang untuk produsen komputer dan produsen alat-alat elektronik lainnya
seperti Hewlett-Packard, Sony, Apple, dan Microsoft, di samping perusahaan yang
lain. Produsen mereka terkenal telah menemukan bahwa melakukan alih daya
terhadap sebagian proses produksi pada perusahaan lain seperti Flextronics
mengurangi total biaya dan dapat meningkatkan kecepatan, kualitas, dan
kemampuan berkompetensi. (Wijaya, 2011, hal. 63-66)
C.
Metode
Analisis Value Chain
Metode analisis value chain meliputi langkah-langkah sebagai
berikut:
1.
Identifikasi
value chain industri, pembebanan kos, pendapatan dan aset untuk nilai
aktivitas.
Langkah ini
harus dilakukan dengan ide untuk mendapatkan competitive advantage.
Penilaian competitive advantage tidak dapat diuji sepenuhnya pada level
industri secara keseluruhan. Value chain suatu industri dibagi dalam
aktivitas yang berbeda sehingga starting point analisis kos
didefinisikan dalam value chain industri kemudian menetapkan kos,
pendapatan dan aset dalam berbagai nilai aktivitas. Aktivitas ini untuk
membangun blok perusahaan dalam industri untuk menciptakan produk yang bernilai
bagi pembeli.
Aktivitas-aktivitas
harus diisolasi dan dipisahkan jika sesuai dengan kondisi-kondisi berikut.
Aktivitas-aktivitas tersebut menggambarkan persentase yang signifikan dengan
kos operasional, perilaku kos aktivitas (cost driver) berbeda,
aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan oleh kompetitor dalam cara yang berbeda.
Setelah mengidentifikasi value chain, kos operasional, pendapatan dan
aset harus dibebankan pada nilai aktivitas secara individual. Untuk nilai
aktivitas intermediate, pendapatan harus ditetapkan dengan menyessuaikan
harga transfer internal dengan harga pasar.
2.
Mendiagnosis
Cost Driver
Dalam akuntansi
manajemen konvensional fungsi utama suatu cost driver adalah volume
output. Konsep kos berhubungan dengan volume input, kos tetap versus
kos variabel, kos rata-rata versus kos marginal, kos volume analisis profit,
analisis break event, budget fleksibel, dan margin kontribusi.
Dalam kerangka
kerja value chain sangat berbeda, volume output dipandang untuk
menangkap sejumlah kecil variasi perilaku biaya. Oleh karena itu, biasanya
digunakan cost driver multiple, yaitu cost driver yang berbeda
untuk berbagai nilai aktivitas yang berbeda. Cost driver dibagi dalam
dua kategori, yaitu struktural cost driver dan executional cost driver.
a.
Structural
Cost Driver
Structural cost
driver ditetapkan
dari pilihan perusahaan tentang struktur ekonomi yang mendasarinya. Pilihan
tersebut diturunkan dari posisi kos untuk berbagai kelompok produk yang
ditawarkan. Ada lima pilihan strategi yang harus dibuat perusahaan tentang
struktur ekonomi yang mendasari, yaitu sebagai berikut:
1)
Scale: berapa ukuran investasi dalam manufakturing, research and development,
dan marketing resource?
2)
Scope: bagaimana tingkat integrasi secara vertikal (integrasi horizontal
lebih berhubungan dengan skala?).
3)
Experience: berapa banyak waktu yang dibutuhkan perusahaan pada masa yang
lalu dan apakah masih bisa dilakukan dalam waktu yang sama untuk scat ini?
4)
Technology: proses teknologi apa yang digunakan dalam masing-masing tahap value
chain perusahaan?
5)
Complexity: seberapa luas lini produk atau jasa yang akan ditawarkan pada
konsumen?
b.
Executional
Cost Driver
Executional
cost driver diturunkan
dari posisi kos perusahaan yang meliputi hal-hal berikut:
1)
Work
force involvement (participation)
: apakah pekerjaan ditekankan untuk perbaikan yang terus menerus?
2)
Total
quality management (TQM) : apakah
pekerjaan ditekankan untuk kualitas produk total?
3)
Capacity
utilization : bagaimana
pilihan skala untuk memaksimalkan plant construction?
4)
Plant
layout efficiency : seberapa
efisien plant’s layout saat ini dibandingkan dengan standar yang ada?
5)
Product
configuration : apakah
desain produk efektif?
6)
Linkages
with supplier or cistomer :
apakah hubungan dengan supplier dan konsumen sesuai dengan rantai nilai
perusahaan? (Mirdah, 2011, hal. 6-9)
D.
Kerangka
Rantai Nilai
Porter
menjelaskan, Analisis value chain merupakan alat analisis stratejik yang
digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif,
untuk mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan
biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan
pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri.
Value Chain mengidentifikasi dan menghubungkan berbagai aktivitas stratejik
diperusahaan. Sifat value chain tergantung pada sifat industri dan
berbeda-beda untuk perusahaan manufaktur, perusahaan jasa dan organisasi yang
tidak berorientasi pada laba.
Menurut Pearce
& Robinson istilah Value Chain (Rantai Nilai) menggambarkan cara
untuk memandang suatu perusahaan sebagai rantai aktivitas yang mengubah input
menjadi output yang bernilai bagi pelanggan. Nilai bagi pelanggan berasal dari
tiga sumber dasar: aktivitas yang membedakan produk, aktivitas yang menurunkan
biaya produk dan aktivitas yang dapat segera memenuhi kebutuhan pelanggan. VCA
berupaya memahami bagaimana suatu bisnis menciptakan nilai bagi pelanggan
dengan memeriksa kontribusi dari aktivitas-aktivitas yang berbeda dalam bisnis
terhadap nilai tersebut.
Menurut
Pearce Robinson, VCA mengambil sudut
pandang proses. Analisis ini membagi/memecah bisnis menjadi kelompok-kelompok aktivitas
yang terjadi dalam bisnis tersebut, diawali dengan input yang diterima oleh
perusahaan dan berakhir dengan produk atau jasa perusahaan dan berakhir dengan
produk atau jasa perusahaan dan layanan purna jual bagi pelanggan. VCA berupaya
melihat biaya lintas rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh bisnis tersebut
untuk menentukan dimana terdapat keunggulan biaya rendah atau kelemahan biaya.
VCA melihat kepada atribut-atribut dari setiap aktivitas yang berbeda ini untuk
menentukan dengan cara bagaimana setiap aktivitas yang terjadi antara pembelian
input dan layanan purna jual dapat membedakan produk atau jasa perusahaan.
Para pendukung
VCA berpendapat bahwa analisis ini memungkinkan manajer untuk dapat
mengidentifikasikan secara lebih baik keunggulan kompetitif perusahaan dengan
melihat perusahaan sebagai suatu proses rantai aktivitas yang betul-betul
terjadi dalam bisnis dan bukan hanya memandangnya berdasarkan garis yang
membagi organisasi atau protokol akuntansi historis.
Tujuan dari analisis
value chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain dimana
perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan
biaya. Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (Value Added) dapat
membuat perusahaan lebih kompetitif. (Marisa, 2017, hal. 10-11)
E.
Tahapan
Dalam Analisis Rantai Nilai
Setiap
perusahaan mengembangkan sendiri satu atau lebih dari bagian –bagian dalam value
chain, berdasarkan analisis stratejik terhadap keunggulan kompetitifnya.
Dalam jurnal Widarsono (2009), menyatakan bahwa analisis value chain
mempunyai tiga tahapan yaitu:
1.
Mengidentifikasi
Aktivitas Value Chain
Perusahaan
mengidentifikasi aktivitas value chain yang harus dilakukan oleh
perusahaan dalam proses desain, pemanufakturan, dan pelayanan kepada pelanggan.
Beberapa perusahaan mungkin terlibat dalam aktivitas tunggal atau sebagian dari
aktivitas total. Contohnya, beberapa perusahaan mungkin hanya memproduksi,
sementara perusahaan lain mendistribusikan dan menjual produk.
2.
Mengidentifikasi
Cost Driver Pada Setiap Aktivitas Nilai
Cost Driver merupakan faktor yang mengubah jumlah biaya total, oleh karena itu
tujuan pada tahap ini adalah mengidentifikasi aktivitas dimana perusahaan
mempunyai keunggulan biaya baik saat ini maupun keunggulan biaya potensial.
Misalnya perusahaan yang bergerak dibidang pelayanan komputer (computer
service) untuk menangani tugas-tugas pemrosesan data, sehingga dapat
menurunkan biaya dan mempertahankan atau meningkatkan keunggulan kompetitif.
3.
Mengembangkan
Keunggulan Kompetitif Dengan Mengurangi Biaya Atau Menambah Nilai
Pada tahap ini
perusahaan menentukan sifat keunggulan kompetitif potensial dan saat ini dengan
mempelajari aktivitas nilai dan cost driver, yang diidentifikasikan
diatas. Dalam melakukan hal tersebut, perusahaan harus melakukan hal-hal
berikut:
a.
Mengidentifikasi
Keunggulan Kompetitif (Cost Leadership atau Diferensiasi).
Analisis
aktivitas nilai dapat membantu manajemen untuk memahami secara lebih baik
tentang keunggulan-keunggulan kompetitif stratejik yang dimiliki oleh
perusahaan dan dapat mengetahui posisi perusahaan secara lebih tepat dalam value
chain industri secara keseluruhan.
b.
Mengidentifikasi
peluang akan nilai tambah.
Analisis
aktivitas nilai dapat membantu mengidentifikasi aktivitas dimana perusahaan
dapat menambah nilai secara signifikan untuk pelanggan. Contohnya, merupakan
hal yang umum sekarang ini bagi pabrik-pabrik pemrosesan makanan dan pabrik
pengepakan untuk mengambil lokasi yang dekat dengan pelanggan terbesarnya
supaya dapat melakukan pengiriman dengan cepat dan murah.
c.
Mengidentifikasi
peluang untuk mengurangi biaya.
Studi terhadap
aktivitas nilai dan cost driver dapat membantu manajemen perusahaan
menentukan pada bagian mana dari value chain yang tidak kompetitif bagi
perusahaan. Beberapa perusahaan mungkin mengubah aktivitas nilainya dengan
tujuan mengurangi biaya. Contohnya, memindahkan pabrik pemrosesan menjadi lebih
dekat dengan bahan baku, sehingga dapat menghemat biaya transportasi dan
mengurangi kerugian.
Lebih lanjut,
analisis value chain dapat dipergunakan untuk menentukan pada
titik-titik mana dalam rantai nilai yang dapat mengurangi biaya atau memberikan
nilai tambah. Sebaliknya dalam perolehan bahan baku atau proses advertisi dan
promosi dapat dilakukan dengan cara, langkah pertama: dalam value chain
untuk pemerintah atau organisasi yang tidak berorientasi pada laba adalah
membuat pernyataan tentang misi sosial organisasi tersebut, termasuk kebutuhan
masyarakat spesifik yang dapat dilayani. Tahap kedua: adalah mengembangkan
sumber daya untuk organisasi, baik personel maupun fasilitasnya. Tahap ketiga
dan tahap keempat: adalah melakukan operasi organisasi dan memberikan jasa
kepada masyarakat.
F.
Kategori
Rantai Nilai
Dalam Gereffi,
Gary dan John Humphires (2005), kategori rantai nilai terdiri dari:
1.
Hierarchical/Vertical
Value Chains (Supplier-Driven)
Pada kategori
ini, rantai nilai dan tata kelolanya terikat dalam perusahaan transnasional
yang terintegrasi secara vertikal (misalnya, anak perusahaan dan afiliasi yang
harus tunduk pada perintah dari kantor pusat). Kategori ini merupakan jenis
rantai nilai paling tradisional dan paling mendekati bentuk penanaman modal
asing yang mulai tersebar.
2.
Captive/Directed
Value Chains (Buyer-Driven)
Dalam hal ini,
produsen hulu sangat bergantung pada pembeli hilir yang lebih besar dan mapan
(atau disebut dengan lead firms). Hal ini tidak hanya terkait dengan
transaksi bisnis atau pesanan, tetapi juga untuk mendapatkan bahan, desain,
teknologi, dll. Seringkali produsen harus melakukan investasi yang spesifik
untuk memenuhi suatu transaksi, dengan tingkat fleksibilitas rendah. Dengan
demikian, diperlukan biaya peralihan yang tinggi untuk pindah ke bidang bisnis
baru. Produsen hulu tersebut seringkali perusahaan kecil yang kerap “terkurung”
oleh kendali lead firm.
3.
Relational
Value Chains
Jenis rantai
nilai ini mengacu pada suatu situasi dimana perusahaan produsen, berdasarkan
desain dan kapasitas produksi yang disyaratkan, dapat menegosiasikan
hubungannya dengan pembeli hilir secara lebih setara. Dengan arus informasi dua
arah pada masalah seperti kondisi pasar, teknologi/desain produk dan proses
dsb. Maka hubungan intra rantai nilai dalam kategori ini dicirikan dengan
adanya saling ketergantungan dalam lingkup tertentu. Peralihan dari rantai
nilai pasti (captive) ke hubungan (relational) dalam literatur
lain (contoh: bidang ekonomi, teknologi dan perdagangan, literatur bisnis
internasional) disatukan dengan kemajuan dari penataan bergaya OEM (original
equipment manufacturing) menjadi lebih ODM (own design manufacturing).
4.
Modular
atau Balance Value Chains
Dalam situasi
seperti ini, perusahaan produsen kurang begitu bergantung pada lead firm
karena penataan produksinya yang lebih fleksibel, sehingga memungkinkan
penggunaan peralatan, bahan, teknologi dan lain sebagainya yang lebih generik
dan tidak terlalu spesifik terhadap transaksi yang dilakukan. Ini mencakup
penggunaan arsitektur produk dan standar teknis modular yang mengurangi variasi
komponen dan menyatukan spesifikasi komponen, produk dan proses.
5.
Market
Driven Value Chains
Tipe ini
mengacu pada suatu situasi yang mendekati struktur pasar yang benar-benar
kompetitif dalam literatur ekonomi mikro. Dalam kategori ini, terdapat berbagai
pilihan pasokan/permintaan dan switching cost ke mitra Rantai Nilai baru
cukup rendah bagi kedua belah pihak. (Wisdaningrum, 2013, hal. 43-45)
G.
Hubungan
Yang Penting Dalam Rantai Nilai
Setiap
perusahaan memiliki satu set pemasok hulu dan satu set konsumen hilir. Dalam
konteks one-on-one, pihak-pihak tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Pemasok
Pabrik Produksi Barang Jadi Pusat Distribusi Konsumen
Titik
dimana hubungan ini bertemu mengindikasi kesempatan nyata bagi manajemen biaya
persediaan. Dengan membangun kerja sama, komunikasi, dan integrasi yang
ditingkatkan, entitas di dalam sebuah rantai nilai dapat memperlakukan satu
sama lain sebagai perpanjangan dari dirinya sendiri dan dengan demikian,
menambah kualitas, kuantitas, dan efisiensi biaya. Tiap entitas dapat berbagi
keahlian dan terlibat dalam pemecahan masalah untuk mengurangi atau menghapus
kegiatan yang tidak bernilai tambah (non-added-NVA) dan meningkatkan
kegiatan bernilai tambah. Perusahaan dapat menyediakan produk dan jasa lebih
cepat serta dengan cacat yang lebih sedikit juga melaksanakan kegiatan dengan
lebih efektif dan dapat diandalkan dengan lebih sedikit error dan kelebihan.
Perhatikan area berikut ini dimana kesempatan untuk perbaikan di antara entitas
terjadi:
1.
Kebutuhan
dan spesifikasi berkomunikasi
2.
Mengklarifikasi
permintaan barang atau jasa
3.
Menyediakan
feedback atau umpan balik mengenai barang atau jasa yang tidak memuaskan
4.
Merencanakan,
mengendalikan, dan memecahkan masalah
5.
Berbagi
manajerial dan keahlian teknis, supervisi, dan pelatihan.
Kesempatan-kesempatan
tersebut juga tersedia untuk individu atau kelompok dalam organisasi.
Masing-masing karyawan atau sekelompok karyawan memiliki baik pemasok hulu
maupun konsumen hilir yang membentuk rantai nilai intra organisasi. Ketika
karyawan melihat pemasok dan konsumen internal mereka sebagai perpanjangan
dirinya dan bekerja untuk memanfaatkan kesempatan tersebut untuk perbaikan,
kerja kelompok ditingkatkan secara signifikan. Kerja kelompok yang ditingkatkan
membantu perusahaan menerapkan sistem just in time. Produktivitas yang
meningkat menuntungkan semua pemegang saham perusahaan dengan:
1.
Mengurangi
investasi dalam persediaan
2.
Meningkatkan
waktu siklus cash-to cash
3.
Menghasilkan
pergantian aset yang lebih tinggi
4.
Mengurangi
risiko persediaan (Kinney, 2011, hal. 450-451)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Analisis value chain merupakan alat analisis stratejik yang
digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif,
untuk mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan atau penurunan
biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan
pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri. Tujuan dari
analisis value chain adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value
chain dimana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan
atau untuk menurunkan biaya,. Penurunan biaya atau peningkatan value
dapat membuat perusahaan lebih kompetitif.
Analisis rantai
nilai mempunyai dua langkah:
1.
Mengidentifikasi
Aktivitas Rantai Nilai.
2.
Mengembangkan
Keunggulan Kompetitif dengan Menurunkan Biaya atau Menambah Nilai.
Adapun tahapan
dalam analisis rantai nilai, yaitu:
1.
Mengidentifikasi
Aktivitas Value Chain
2.
Mengidentifikasi
Cost Driver Pada Setiap Aktivitas Nilai
3.
Mengembangkan
Keunggulan Kompetitif Dengan Mengurangi Biaya Atau Menambah Nilai
B.
Saran
Demikianlah makalah ini pemakalah
buat dengan sesungguhnya, untuk memenuhi tugas mata kuliah akuntansi manajemen
tentang Value Chain & Analysis Accounting. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam memahami
secara lebih baik terhadap keunggulan kompetitif dan hubungan perusahaan dengan
pemasok. Pemakalah menyadari masih terdapat
banyak kekurangan pada makalah ini baik dari segi penulisan makalah,
kelengkapan isi, data yang disajikan, dan lainnya. Kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan dari para pembaca untuk penulisan makalah yang
lebih baik lagi kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Blocher, E. J. (2000). Manajemen
Biaya: Dengan Tekanan Stratejik Jilid 1. Jakarta:
Salemba Empat.
Charil, A. (2011). Rekayasa
Akuntansi Manajemen Dalam Lingkungan Bisnis Yang
Kompetitif. Jurnal
Akuntansi Vol.10 No.1-2 , 69-91.
Kandou, C. S. (2014). Penerapan
Analisis Value Chain Untuk Mencapai Keunggulan
Bersaing. Jurnal Ilmu &
Riset Akuntansi Vol.3 No.3 , 1-16.
Kinney, C. A. (2011). Akuntansi
Biaya: Dasar dan Perkembangan Edisi7, Buku 2.
Jakarta: Salemba Empat.
Marisa, J. (2017). Analisis
Strategi Rantai Nilai (Value Chain) Untuk Keunggulan
Kompetitif Melalui Pendekatan
Manajemen Biaya Pada Industri Pengolahan Ikan. Journal Of Animal Science
and Agronomy Panca Budi Vol.2 No.02 , 7-17.
Martusa, R. (2009). Peranan
Environmental Accounting Terhadap Global Warming.
Jurnal Akuntansi Vol.1 No. 2 , 164-179.
Mirdah, A. (2011). Upaya Menghadapi
Perubahan Lingkungan Strategis Dengan
Menbangun & Meraih Competive
Adventage Melalui Value Chain Analysis & Kemitraan. Jurnal Akuntansi
, 1-18.
Wedhasmara, A. (2009).
Langkah-Langkah Perencanaan Strategis Sistem Informasi
Dengan Menggunakan Metode Word and
Peppard. Jurnal Sistem Informasi (JSI) Vol. 1 No. 1 , 14-22.
Wijaya, D. (2011). Manajemen
Biaya Penekanan Strategis. Jakarta: Salemba Empat.
Wisdaningrum, O. (2013). Analisis
Rantai Nilai (Value Chain) Dalam Lingkungan
Internal Perusahaan. Jurnal
Analisa Akuntansi Vol.1 No.1 , 40-48.
Do you realize there's a 12 word phrase you can speak to your crush... that will induce deep emotions of love and instinctual attractiveness for you deep within his chest?
BalasHapusThat's because hidden in these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's instinct to love, treasure and look after you with all his heart...
12 Words Who Fuel A Man's Love Response
This instinct is so built-in to a man's mind that it will make him work better than before to build your relationship stronger.
Matter-of-fact, fueling this influential instinct is so mandatory to achieving the best ever relationship with your man that the second you send your man one of these "Secret Signals"...
...You'll soon notice him expose his heart and mind for you in such a way he haven't experienced before and he'll identify you as the one and only woman in the universe who has ever truly attracted him.